Radhitya Erlangga


pagi itu mataku terbuka lebar melihat kelabu embun. sejenak ku terdiam perlahan suara senapan masuk menerobos gendang telinga. pagi itu gemersik suara kaki berlari-lari diiringi molotov dan pecah belah tubuh manusia. Aroma mesiu dan bau tubuh manusia terbakar menghentakkan logika kemanusiaanku. Pagi itu tidak seperti pagi hari biasa di banyak negara maju di dunia. Aroma kopi, pemanggang roti, susu, surat kabar, dan gelak tawa bahagia keluarga. Pagi itu kondisinya seakan mempertegas dogma neraka seakan menjadi nyata. pertanyaan saya, apakah semua ini? adakah yang merasakan ini seperti saya? Dan kemudian jawabanya segara kudapatkan dengan sedikit menundukkan kepala dan melihat metal panas yang berhamburan disekelilingku. Sejenak semuanya seakan menjadi jelas bahwa pagi pun tidak bisa memperlambat peluru.