Radhitya Erlangga


pagi itu mataku terbuka lebar melihat kelabu embun. sejenak ku terdiam perlahan suara senapan masuk menerobos gendang telinga. pagi itu gemersik suara kaki berlari-lari diiringi molotov dan pecah belah tubuh manusia. Aroma mesiu dan bau tubuh manusia terbakar menghentakkan logika kemanusiaanku. Pagi itu tidak seperti pagi hari biasa di banyak negara maju di dunia. Aroma kopi, pemanggang roti, susu, surat kabar, dan gelak tawa bahagia keluarga. Pagi itu kondisinya seakan mempertegas dogma neraka seakan menjadi nyata. pertanyaan saya, apakah semua ini? adakah yang merasakan ini seperti saya? Dan kemudian jawabanya segara kudapatkan dengan sedikit menundukkan kepala dan melihat metal panas yang berhamburan disekelilingku. Sejenak semuanya seakan menjadi jelas bahwa pagi pun tidak bisa memperlambat peluru.

Anton Yudhistira


Kita ingin hidup kaya. padahal hidup adalah sebuah kekayaan. Kita takut memberi. sejatinya semua yang kita miliki adalah pemberian. Pernahkah kita sedikit melihat kebawah, mereka yang sering merontah ketika hidup tidak terpapah namun tetap tidak patah arah dalam mencari nafkah. Di kolong dunia yang makin entah. Saling tengkar dan melempar salah. Tak kunjung berubah padahal ini menjelang punah. Untuk semua resah, jengah, lelah, amarah, lihatlah itu secerca cerah. percayalah, hidup itu indah..

Sawing Bahar


Para Mudah Rebah dan Enggan Beranjak. Sesaat setelah pagi pergi. Mataharinya merah lagi. Segala indera masih rebah. Begitu pula yang diinderai. Masih rebah, Yah,,, masih rebah…Sementara sekitar mulai bersegera. Entah untuk apa. Terus membentuk siklus. Berulang lagi dan lagi… Selamat datang para mudah rebah dan para enggan beranjak. Sambut mereka ketika kami datang, percayalah ini bukan buah sengaja. Dan sungguh tak pernah terencana, terjadi dan berlalu begitu saja. Sukar bertutur tentangnya karena nalar masih sulit mengurainya. Dan akhirnya saya tiba tempat itu. Wahh, seperti surga. Benarr,, ini surga bagi para tak tepat. Setidaknya bagiku, sebelum malam berlalu. Saya akan segera berdoa. Semoga kelak semua selain kita melambat. Sementara kita masih sedikit rebah, mulai sedikit mengindera. Dan mungkin sedikit bahagia. Semoga…

Zulkhair Burhan

Mungkin sebaiknya aku tidur saja karena mata ini sepertinya tidak bersahabat lagi dengan rasa kantukku. Mungkin sudah saatnya aku segera mencari bidang datar yang bisa mengantarku ke cerita-cerita lucu, heroik, menegangkan dan bahkan menakutkan yang sering hadir mewarnai lelapku. Mungkin sudah tiba waktunya merehatkan pikiran-pikiranku yang kian hari terasa makin sumpek dengan tuntutan-tuntutan perut yang kadang datang bersamaan tanpa kompromi. Kucoba tetap membuatnya membelalak sambil berharap akan kudapat asa yang kuanggap telah mulai meredup seiring fase baru dalam hidupku yang datang meski tanpa ucapan salam dan kemudian membuatku sadar bahwa bagian itu bukan hanya cerita yang ditujukan kepada siapa saja agar waspada terhadap hidup namun ia benar-benar datang dan sekali lagi meski tanpa ucapan salam. Aku tak akan menyerah kalah dengan kantukku karena menyerah berarti membiarkan rentetan-rentetan kemenangan-kemenangan kecil akan berlalu begitu saja. Tapi, bukankah kantuk adalah gerbang menuju mimipi-mimpiku dan segera akan membuatku lupa akan kealpaan hidup meski hanya sesaat. Akhirnya aku harus kalah karena aku harus adil dengan mataku yang seharian membuatku belajar tentang hidup dan syukur.

Danish Wisnu Nugraha


Loyalitas, totalitas, integritas, dan ikhlas, adalah pondasi cita cita yang jauh disana, mungkin itu hal umum yang seharusnya orang tau pada umumnya. Ketika televisi adalah pembeda, jangan anggap mereka kuasa. Memang semua terlihat bertalenta, tapi bukankah kita juga punya. Ketika radio adalah monolog, biarkan saja itu sebagai prolog, toh juga kita tidak pernah berdialog. 3 pusaka kebajikan musibah dirahasiakan, keluhan dan sodaqoh dirahasiakan, kebajikan untuk merahasiakan. Air adalah energi yang mengajarkan untuk tetap mengalir, memang ketempat lebih rendah tapi itu tujuan. Api adalah intuisi kepalang mati tentang membakar, ya membakar naluri dimana kamu harus punya ketegasan hati. Udara adalah tentang apa yang kamu hirup, hirup agar kau tak mati tetap punya hati untuk bahagiamu nanti. Dan tanah adalah tempat kamu berpijak berdiri dicaci dimaki dengan atau tanpa pondasi. Terimakasih untuk kata 'nanti' karena akan terkejarnya dengan kata 'sekarang atau tidak sama sekali'

Parvatae Pungkal

Mengembara ke antah berantah, sudah entah berapa lama meninggalkan rumah, dihantui rasa takut di tanah yang tidak aku kenal. Ya, aku dan kamu takut di tanah pengembaraan ini. Aku dan kamu dihantui rasa takut di jengkal tanah yang baru kali ini terpijak. Aku dan kamu bukan siapa-siapa di tempat ini. Dan aku pun tahu, pengembara lain juga merasakan takut yang seperti aku rasakan. tapi, satu persatu salam perkenalan, satu persatu senyum dan sapa formal tanpa basa basi hadir. Satu persatu jabat tangan hangat aku rasakan. Dan akhirnya satu persatu pengembara tangguh pun aku temukan, dan aku tersadar bukan hanya aku pengembara di tanah ini. Kamu, kamu, kamu mengikiskan ketakutanku, kamu, kamu, kamu , bersama-sama menghapuskan ketakutan ini, ketakutan aku dan kamu di tanah pengembaraan ini. Kamu, kamu, kamu adalah manusia tangguh teman sepengemaraanku.

Gilang Kusuma Wardhana

Bangun dari tidurku, segera kupacu penuh mesinku. Detik tak mau menunggu, ku terus melaju, tanpa tau kemana tujuanku. Mendadak lajuku terhenti. Seluruh darah seakan membeku. Enggan melanjutkan, ingin kembali mengulang, bodoh! Selesaikan apa yang sudah kau mulai, ribuan tantangan sudah menunggu di depan. Ribuan tantangan yang membuatmu semakin yakin akan tujuanmu.

Albert T. M. Sinaga

Pendusta harta adalah durjana berpayudara dan berpayung durhaka, yang melacur setia terhadap candu idola. Kengerian belati terhadap silet, cipta nelangsa semata gengsi luar negeri, sungguh ngeri pun teramalkan. Nyata hanya terjungkal dipojokan waktu, bukan kali kedua mencoba madu dan neraka, demi gulanda yang gundah menunggu janda melanda, berharap asa tak tertunda. Tapi tunggu dulu, bunkankah itu si karib, sang waspada yang berbahu sandar, biasa menenggak curah bersama, tapi sudahlah sepertinya salah mata, ternyata itu hanya jelma lampau, tempat peniti berpaling kemudian saling. Pedasnya batas yang menyindir, apa kabarmu tuan kota? mahkotamu kuyub diserang hujan, di mana payung beradik selimut itu?

Yohanes Catur Nugraha

Berawal dari nafas dan suara. Bertemu banyak suasana yang tak terduga. Mencoba bertahan dalam keraguan. Mencari teman untuk berjuang bersama. Belum menjadi apa apa dan entah akan menjadi apa. Banyak harapan dan sangat ingin meraihnya. Keyakinan dan keberanian yang akan membahagiakan semuanya. Sudah sampai mana sekarang?

Chandra Permana

Melipat semesta tersimpan setiap getirnya dalam laci ingatan. Tidak akan pernah menghilang. Kecuali sepotong tangan mendapatiku dalam amnesia yang akut. Pagiku belum juga berubah, langit maha lusuh hendak runtuh. Dan matahari dengan punggung membungkuk terbatuk-batuk. Angan dan ingin masih mengendap di kepala. Tidak lama lagi berkerak dan lumutan. Cita-cita itu belum juga tunai. Seperti meraih langit dengan tangan dan meloncat dengan kaki buntung. Ku inginkan musim itu. Menjajaki waktu tanpa palang dan silang malang melintang. Semoga belum purna. Semoga jiwa tak lekas tamat. Dan semoga masih ada waktu yang menjanjikan hari baik. Semoga Kau dengar..